Dari Gagasan Kontroversial ke Jalan Andalan: Kisah Tol Pertama Indonesia
Setiap libur Natal dan Tahun Baru, jutaan warga Indonesia memadati jalan untuk pulang kampung atau berwisata. Di balik kelancaran perjalanan jarak jauh itu, ada peran vital jalan tol yang kini menjadi tulang punggung infrastruktur transportasi nasional. Namun, tahukah Anda bahwa gagasan pembangunannya justru berasal dari era 1950-an dan sempat ditolak keras karena dianggap "memeras rakyat"?
Gagasan Visioner di Era 1950-an
Ide pembangunan jalan tol di Indonesia pertama kali dicetuskan oleh Raden Soediro Harjodisastro, Wali Kota Jakarta pada dekade 1950-an. Saat itu, Jakarta mulai menghadapi persoalan kepadatan penduduk yang mencapai 1,5 juta jiwa, sementara tekanan anggaran pemerintah daerah sangat besar.
Untuk mencari sumber pemasukan baru, Soediro mengusulkan konsep jalan berbayar. Rencananya, setiap kendaraan yang melintas di ruas jalan tertentu—dari kawasan Semanggi hingga Istana Negara (kini Jalan Sudirman-Thamrin)—diwajibkan membayar sebelum masuk.
“Di ujung jalan M.H Thamrin, di situ bakal berdiri tempat pemungutan tol bagi setiap kendaraan bermotor yang lewat,” ucap Sudiro, seperti dikutip dari autobiografinya Sudiro Pejuang Tanpa Henti (1981).
Ditolak karena Trauma Kolonial
Sayangnya, gagasan visioner ini tidak mendapat dukungan. Sejumlah anggota DPRD Jakarta kala itu menilai jalan berbayar akan memberatkan masyarakat dan dinilai tidak efektif. Penolakan juga muncul karena trauma masa lalu.
Pada era Hindia Belanda, praktik serupa pernah diterapkan khusus kepada para pedagang Tionghoa, yang diwajibkan membayar untuk melintasi jalan tertentu. Kebijakan kolonial itu pernah memicu ketegangan sosial. Dengan latar belakang tersebut, para penentang menganggap penerapan jalan tol sama dengan memeras rakyat dan berpotensi memicu perpecahan. Akibatnya, ide itu pun kandas.
Hidup Kembali Dua Dekade Kemudian
Gagasan tentang jalan tol baru menemukan momentumnya sekitar dua dekade kemudian, tepatnya pada 1973. Saat itu, Jakarta telah berkembang pesat dengan jumlah penduduk mencapai 4,5 juta jiwa dan sekitar 540 ribu kendaraan pribadi.
Di bawah kepemimpinan Menteri Pekerjaan Umum dan Kelistrikan, Sutami, pada era Presiden Soeharto, ide jalan berbayar dihidupkan kembali. Kali ini, tujuannya adalah mengurai kemacetan sekaligus menambah pemasukan negara, dengan membangun jalan yang menghubungkan Jakarta dengan kota satelitnya.
Lahirnya Tol Pertama: Jagorawi
Dari kebijakan itulah kemudian lahir jalan tol pertama di Indonesia, yaitu Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi). Proyek sepanjang 59 kilometer ini dibangun dengan anggaran sekitar Rp2 miliar dan menjadi pionir infrastruktur tol di Tanah Air.
Pilihan rute Jakarta-Bogor didasari tingginya aktivitas mobilitas warga dan industri antara kedua wilayah tersebut.
Warisan yang Kini Menjadi Andalan
Kini, puluhan tahun setelah gagasan kontroversial itu pertama kali dilontarkan, jalan tol justru tumbuh menjadi jaringan infrastruktur nasional yang sangat vital. Jalan tol telah mengubah pola mobilitas, memperpendek waktu tempuh, dan mendukung percepatan pembangunan ekonomi.
Apa yang dahulu dianggap usang dan berpotensi memecah belah, telah bertransformasi menjadi andalan jutaan orang untuk bepergian dengan lebih cepat, aman, dan nyaman—terutama pada momen mudik dan liburan seperti Natal dan Tahun Baru.
Kisah lahirnya jalan tol di Indonesia mengajarkan bahwa sebuah gagasan visioner seringkali lahir lebih dulu dari zamannya. Butuh waktu, perubahan kondisi, dan political will yang kuat untuk mewujudkannya menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi banyak orang.
