Di tengah melemahnya sejumlah indikator ekonomi makro, sebuah pola konsumsi yang mencolok justru muncul dari Generasi Z Indonesia. Meski daya beli masyarakat secara umum tertekan, belanja untuk pengalaman (experiential spending) seperti wisata, gaya hidup, dan barang mewah tertentu terus menguat, dengan Gen Z sebagai motor utamanya.
‘Self-reward’ sebagai Prioritas Utama
Berbeda dengan Generasi Lain
- Gen Z (31% responden survei): Menyumbang >50% dari total belanja pengalaman (experience economy).
- Milenial (42% responden survei): Proporsi kontribusi terhadap belanja pengalaman lebih kecil dibanding Gen Z.
Data dari ASEAN Consumer Sentiment Study (ACSS) 2025 oleh UOB mengungkapkan fakta yang menarik. Meski hanya mewakili 31% responden survei, kontribusi Gen Z terhadap belanja kategori pengalaman (experience economy) melampaui 50%. Sebaliknya, kelompok milenial yang secara jumlah responden lebih besar (42%), proporsi belanjanya justru lebih kecil.
Fenomena ini merefleksikan pergeseran nilai mendasar. Bagi Gen Z yang tumbuh di era digital penuh ketidakpastian, konsumsi tidak lagi berpusat pada kepemilikan barang, tetapi pada emosi, kenangan, dan pengalaman yang bisa dibagikan. Teori lipstick effect—kecenderungan membeli kemewahan kecil yang terjangkau di saat ekonomi sulit—terlihat pada kebiasaan mereka menikmati kopi premium atau membeli tiket konser mahal artis global.
Boros atau Justru Hemat? Paradoks Pola Keuangan Gen Z
Perilaku ini bukanlah sekadar pemborosan. Survei yang sama menunjukkan bahwa generasi muda sangat sadar akan tekanan ekonomi.
- Strategi Bertahan: Sebagian besar konsumen mengaku biaya hidup naik dan daya beli turun.
- Tindakan yang Diambil: Mereka merespons dengan menunda pembelian besar, mengurangi belanja non-esensial, dan aktif mencari promo & diskon.
- Disiplin Keuangan: Di saat bersamaan, Gen Z dinilai lebih disiplin dalam menabung dan berinvestasi.
Belanja pengalaman dimaknai sebagai bentuk self-reward atau hadiah untuk diri sendiri—sebuah cara mempertahankan rasa kontrol, kebahagiaan, dan kualitas hidup di tengah ketidakpastian. Intinya, mereka tidak berhenti membelanjakan uang, tetapi mengubah prioritas pengeluaran.
Pelajaran dan Peluang bagi Pelaku Bisnis
Perubahan perilaku konsumen ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar bagi dunia usaha. Patria Laksamana, Associate Professor of Marketing Perbanas Institute, memberikan beberapa insight kunci:
- Dari Harga Murah ke Nilai Bermakna: Konsumen kini mencari nilai yang “pantas dan bermakna”. Produk dinilai dari cerita, emosi, dan pengalaman yang menyertainya, bukan hanya fungsi. Brand yang hanya mengandalkan diskon agresif berisiko kehilangan relevansi.
- Segmentasi yang Tepat: Strategi pemasaran tidak bisa lagi digeneralisasi untuk semua generasi. Gen Z memandang konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup dan ekspresi diri.
- Konsep ‘Affordable Premiumisation’: Kunci sukses adalah menawarkan produk premium yang tetap terjangkau, dilengkapi dengan personalisasi dan pengalaman emosional yang kuat melalui strategi omnichannel (gabungan online dan offline).
Masa Depan Konsumsi
Tren ini diprediksi masih akan berlanjut hingga 2026 dan seterusnya, seiring dengan dominasi demografis Gen Z dan Generasi Alpha. Brand yang mampu menggabungkan efisiensi biaya dengan storytelling yang kuat, pembangunan komunitas, dan pengalaman autentik akan lebih tahan banting.
Sebaliknya, merek yang gagal memahami bahwa konsumen—terutama generasi muda—kini membeli alasan emosional dan relevansi di balik sebuah produk, akan berisiko tertinggal.
Intinya, dalam dinamika ekonomi Indonesia saat ini, strategi “self-reward” Gen Z bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi menjadi sebuah faktor pendorong konsumsi yang signifikan dan penuh makna.

